Sekali lagi
Virga melihatnya. Sosok itu tampak rupawan. Dia hanya mengenakan make up natural dan berpakaian rapi
dengan kemeja cokelat tetapi entah bagaimana bisa terlihat berkelas dan cantik.
Dia memadupadankan kemejanya dengan celana hitam. Rambutnya dibiarkan tergerai
dengan sedikit ikat kecil di bagian bawah. Namun, dia tak tersenyum bahkan
setelah menghilang dari balik cermin.
Virga meraih
sepasang sepatu hendak mengenakannya, namun ada suara yang datang dan seperti
terdengar familiar. Dia menyikap tirai jendela, dan begitu mendapati
titik-titik bening berjatuhan di halaman rumah Virga langsung melempar sepatu
di tangannya. Moodnya buruk seketika.
Hatinya seperti dihantam oleh partikel-partikel yang membuatnya rusak dan
terkapar. Pada akhirnya Virga yang menyerah dan kembali kalah. Dia pun
memutuskan untuk tak pergi ke kantor. Memilih kembali bergelung dalam selimut
hingga hujan berlalu.
Virga meraih
jaket yang tergantung di belakang pintu dan keluar dari rumah. Tirai gelap di
angkasa sudah tersingkap. Langit kembali biru dengan siraman cahaya yang
berasal dari sisi barat. Virga merapatkan jaket dan memasukkan dua tangannya ke
balik saku. Dia benci saat bulir-bulir basah itu mengenai kulitnya meski hanya
satu atau dua tetes saja. Meski begitu, Virga tidak bisa memungkiri bahwa ada
jejak menyenangkan yang tertinggal setelah hujan dan dia sangat menikmatinya. Mereka
adalah pelangi dan petrikor. Pelangi seperti bianglala yang membentang di
angkasa dengan berbagai warna. Sementara petrikor adalah aroma alami yang
dihasilkan saat hujan jatuh dan kembali dilepaskan ke udara.
Byurr.
“Akh!” Virga
reflek berseru ketika cipratan air berhasil mengguyur setengah tubuhnya. Sial.
Hujan dengan segala masalah yang ditimbulkannya.
***
“Sudah Scan.”
Suara itu terdengar sepersekian detik sebagai tanda
bahwa mesin yang dilengkapi dengan layar kecil tersebut telah membaca sidik
jari. Virga menyeringai ketika mendapati dirinya adalah satu-satunya orang
sudah berada di kantor. Perlu diketahui bahwa dia bukanlah karyawan di sini,
melainkan hanya mahasiswi magang. Di mana magang adalah salah satu syarat yang
harus Virga tempuh untuk mendapatkan gelar sarjana.
Virga duduk
berpangku tangan sambil menghadap komputer di depannya sebelum seseorang
tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Virga mendongak dan reflek melipat tangan gugup.
Sosok itu menjulang dengan balutan kemeja maroon
dan celana bahan kain warna hitam. Rautnya sungguh tidak terbaca. Satu
tangannya menenteng tas dengan satunya lagi menggenggam ponsel, namun
pandangannya yang tajam menghunus ke arah virga.
Teringat
sesuatu Virga buru-buru berdiri lalu menyerahkan sebuah kotak.
“Buat bapak.”
Laki-laki itu
hanya menaikkan satu alisnya. Masih tidak bersuara.
“Ini sarapan
buat bapak, saya buat sendiri. Di dalamnya ada roti bakar rasa cokelat, kacang,
dan srikaya. Saya nggak tahu bapak suka rasa apa jadi saya oleskan semua selai roti
yang saya punya,” jelas Virga.
“Apa susahnya
kirim pesan dan tanya, Pak Shaf suka roti selai rasa apa?”
Namanya Shaf
Dirgantara. Shaf sudah bekerja cukup lama sebagai staf marketing di perusahaan retail ini. Di usianya yang 25 tahun tak
terbesit bahwa dia akan dipertemukan dengan sosok Virga, mahasiswi magang yang
kerap membuatnya hanya bisa menghembuskan napas dan geleng-geleng kepala.
“Virga.”
“Iya, Pak.”
“Susun
berkas-berkas ini, ya, saya ada urusan di luar,” perintahnya. Lalu Shaf
mengembalikan kotak bekal milik Virga dan berkata, “Thanks, sarapannya.”
***
Shaf
mengusap-usap bajunya yang basah karena hujan. Dia kembali ke kantor karena ada
barang yang harus diambilnya, dan Shaf agak terkejut ketika menemukan Virga
tertidur dengan kepala di atas meja dan lengan sebagai bantalannya. Virga
harusnya sudah pulang karena ini adalah akhir pekan dan kantor hanya beroperasi
sampai dengan pukul 12.00 saja.
“Virga.”
Tak ada
gerakan yang berarti. Shaf hendak menyentuh Virga namun urung ketika mendapati earphone tersumpal di kedua telinga
gadis itu. Alih-alih membangunkan, Shaf justru mengitari meja dan berdiri di
depan jendela. Dia menyingkap tirai yang menutup rapat kaca lebar itu. Titik
air masih terus berdatangan, menyapa silih berganti, menabrak dinding
transparan ini, membentuk kristal-kristal kecil sebelum akhirnya luruh dan
menghilang.
Shaf beralih duduk
di kursinya sambil bersedekap, memperhatikan Virga yang masih berada di alam
damainya. Dia belum mengenal Virga sepenuhnya, dia tidak tahu apa saja yang
gadis itu alami, dia hanya tahu secuil fakta bahwa orangtua Virga telah tiada
karena suatu hal.
“Bapak,”
Virga mengerjab, berusaha menatap lebih jelas sosok Shaf yang terhalang
komputer.
“Ayo, bangun.
Saya antar pulang.”
Namun, Virga
langsung mundur dan menghentikan langkah ketika rintik hujan mengenai
sepatunya. Dia mendongak, bersamaan dengan itu sebuah jaket kulit tersampir di
bahunya. Virga menoleh dan mendapati Shaf di sana.
“Bapak dapat
dari mana?”
“Pakai saja.”
Virga membawa
kain tebal itu hingga menutupi kepala kemudian mengikuti Shaf menuju mobil. Shaf
memutuskan singgah di salah satu restaurant
untuk makan siang, sekaligus bayaran untuk Virga atas bekal sarapan yang tadi
pagi diterimanya.
Shaf memperhatikan hujan yang kembali turun cukup deras,
sementara Virga betah menatap lurus ke depan. Dia memperhatikan Shaf yang
justru menikmati pemandangan di luar.
“Saya benci
hujan,” ungkap Virga. “Banyak masalah yang timbul karenanya. Seperti kerikil
dalam kehidupan.”
Shaf terkekeh.
“Kamu hanya belum pernah mencoba untuk melihat hujan dari jendela yang berbeda,
Virga. Hujan yang turun meski merenggut kebebasan beraktivitas, tetapi
memberikan banyak manfaat untuk semua makhluk hidup, termasuk kita.”
Virga ikut
menatap keluar. Beberapa saat diam, lirih dia berkata. “Orangtua saya meninggal
karena kecelakaan. Hujan perenggut nyawa mereka.”
Kini kristal
bening itu tak hanya singgah pada dinding tembus pandang di hadapan mereka.
Tetapi juga di sepasang pelupuk rapuh itu, sebelum akhirnya luruh dan hilang
bagai air hujan.
“Kamu hebat
bisa kuat dan bertahan sampai saat ini. Terima kasih karena sudah terus
berjuang. Kamu nggak pernah sendiri, Virga. Tuhan selalu bersama kamu. Apapun
masalah kamu, tetap berusaha dan berdoa, yakin Tuhan pasti bantu.
“Hujan sudah
merebut apa yang saya punya.”
“Mereka milik
Tuhan, Virga. Hujan nggak pernah merebutnya.”
Virga
terdiam. Kalimat itu menghunusnya. Membekukan rasa benci yang mengalir di
jiwanya. Berhenti, tidak lagi bergerak. Oh, ayolah. Dia masih Virga yang sama
bukan?
“Tuhan
menitipkan pesan pada angin untuk menyampaikan kabar gembira. Tuhan juga yang
menurunkan hujan sebagai senjata pamungkas yang mampu mensterilkan segala
bentuk pencemaran di bumi,” lanjut Shaf.
Lama terdiam
sebelum ragu-ragu Virga berkata, “Saya ingin menemukan jendela lain seperti
yang bapak maksud.”
Shaf
tersenyum, “Jendela itu tak kasat mata, Virga. Kamu punya jendela itu, dan
hanya kamu yang bisa menemukannya. Kuncinya ada pada diri kamu sendiri. Harus
ada kemauan dan gerakan untuk mencari.”
Virga
terdiam. Netranya menjelajah sekitar. “Saya menemukannya.”
“Oh, ya?
Secepat itu? Bagaimana bisa?” kini giliran Shaf yang dibuat takjub.
“Hujan bisa
saja merenggut kebebasan beraktivitas, tetapi hujan memberikan banyak manfaat
untuk keberlangsungan seluruh makhluk hidup di bumi. Hujan bisa saja menimbulkan
berbagai macam bencana, tetapi hujan juga dapat membawa kebahagiaan,
ketenangan, dan kenyamanan, serta mampu meninggalkan jejak-jejak yang dapat
dinikmati oleh banyak orang, termasuk saya,” jelas Virga. Dia kembali menatap
keluar. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Saya jadi merasa bersalah pada
hujan.”
“Maka
segeralah minta maaf.”
“Padahal untuk
jatuh ke bumi hujan melalui siklus hidrologi yang rumit. Bagaimana mungkin saya
bisa mengkambinghitamkannya selama ini?”
“Saat turun
hujan berikutnya, saya yakin mereka sudah memaafkan kamu.”
Virga
tersenyum malu, “Saya jadi teringat kalimat yang populer, habis gelap terbitlah
terang,” jeda, “habis hujan muncullah pelangi. Menurut bapak apa mungkin habis
sedih akan datang bahagia?”
“Tentu.
Seperti siang dan malam, bahagia dan sedih pun datangnya shift-shiftan, bedanya perihal waktu. Kita nggak tahu pasti kapan
bahagia atau sedih itu akan datang.”
Itu dia. Kini
Virga menemukan kunci dari pintu yang menyembunyikan kekuatannya. Dia bertepuk
tangan kecil sebelum menegakkan tubuh dan bangkit berdiri. “Bapak antar saya
pulang, kan?”
Shaf tertawa.
Dia ikut berdiri dan menyerahkan jaketnya tapi Virga menolak. Di belakangnya
Shaf mengikuti langkah Virga sambil tersenyum. Virga menengadahkan tangan,
merasakan titik-titik air yang terasa menggelitik di telapaknya. Di belakangnya
Shaf berbisik, “Ada satu rahasia yang belum kamu tahu, Virga. Ada rindu yang
orangtua kamu titipkan pada setiap bulir air hujan ini.”
***