Feb 25, 2021

Feeling Blue

Sekali lagi Virga melihatnya. Sosok itu tampak rupawan. Dia hanya mengenakan make up natural dan berpakaian rapi dengan kemeja cokelat tetapi entah bagaimana bisa terlihat berkelas dan cantik. Dia memadupadankan kemejanya dengan celana hitam. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit ikat kecil di bagian bawah. Namun, dia tak tersenyum bahkan setelah menghilang dari balik cermin.

Virga meraih sepasang sepatu hendak mengenakannya, namun ada suara yang datang dan seperti terdengar familiar. Dia menyikap tirai jendela, dan begitu mendapati titik-titik bening berjatuhan di halaman rumah Virga langsung melempar sepatu di tangannya. Moodnya buruk seketika. Hatinya seperti dihantam oleh partikel-partikel yang membuatnya rusak dan terkapar. Pada akhirnya Virga yang menyerah dan kembali kalah. Dia pun memutuskan untuk tak pergi ke kantor. Memilih kembali bergelung dalam selimut hingga hujan berlalu.

Virga meraih jaket yang tergantung di belakang pintu dan keluar dari rumah. Tirai gelap di angkasa sudah tersingkap. Langit kembali biru dengan siraman cahaya yang berasal dari sisi barat. Virga merapatkan jaket dan memasukkan dua tangannya ke balik saku. Dia benci saat bulir-bulir basah itu mengenai kulitnya meski hanya satu atau dua tetes saja. Meski begitu, Virga tidak bisa memungkiri bahwa ada jejak menyenangkan yang tertinggal setelah hujan dan dia sangat menikmatinya. Mereka adalah pelangi dan petrikor. Pelangi seperti bianglala yang membentang di angkasa dengan berbagai warna. Sementara petrikor adalah aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh dan kembali dilepaskan ke udara.

Byurr.

Akh!” Virga reflek berseru ketika cipratan air berhasil mengguyur setengah tubuhnya. Sial. Hujan dengan segala masalah yang ditimbulkannya.

***

“Sudah Scan.”

           Suara itu terdengar sepersekian detik sebagai tanda bahwa mesin yang dilengkapi dengan layar kecil tersebut telah membaca sidik jari. Virga menyeringai ketika mendapati dirinya adalah satu-satunya orang sudah berada di kantor. Perlu diketahui bahwa dia bukanlah karyawan di sini, melainkan hanya mahasiswi magang. Di mana magang adalah salah satu syarat yang harus Virga tempuh untuk mendapatkan gelar sarjana.

Virga duduk berpangku tangan sambil menghadap komputer di depannya sebelum seseorang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Virga mendongak dan reflek melipat tangan gugup. Sosok itu menjulang dengan balutan kemeja maroon dan celana bahan kain warna hitam. Rautnya sungguh tidak terbaca. Satu tangannya menenteng tas dengan satunya lagi menggenggam ponsel, namun pandangannya yang tajam menghunus ke arah virga.

Teringat sesuatu Virga buru-buru berdiri lalu menyerahkan sebuah kotak.

“Buat bapak.”

Laki-laki itu hanya menaikkan satu alisnya. Masih tidak bersuara.

“Ini sarapan buat bapak, saya buat sendiri. Di dalamnya ada roti bakar rasa cokelat, kacang, dan srikaya. Saya nggak tahu bapak suka rasa apa jadi saya oleskan semua selai roti yang saya punya,” jelas Virga.

“Apa susahnya kirim pesan dan tanya, Pak Shaf suka roti selai rasa apa?”

Namanya Shaf Dirgantara. Shaf sudah bekerja cukup lama sebagai staf marketing di perusahaan retail ini. Di usianya yang 25 tahun tak terbesit bahwa dia akan dipertemukan dengan sosok Virga, mahasiswi magang yang kerap membuatnya hanya bisa menghembuskan napas dan geleng-geleng kepala.

“Virga.”

“Iya, Pak.”

“Susun berkas-berkas ini, ya, saya ada urusan di luar,” perintahnya. Lalu Shaf mengembalikan kotak bekal milik Virga dan berkata, “Thanks, sarapannya.”

***

Shaf mengusap-usap bajunya yang basah karena hujan. Dia kembali ke kantor karena ada barang yang harus diambilnya, dan Shaf agak terkejut ketika menemukan Virga tertidur dengan kepala di atas meja dan lengan sebagai bantalannya. Virga harusnya sudah pulang karena ini adalah akhir pekan dan kantor hanya beroperasi sampai dengan pukul 12.00 saja.

“Virga.”

Tak ada gerakan yang berarti. Shaf hendak menyentuh Virga namun urung ketika mendapati earphone tersumpal di kedua telinga gadis itu. Alih-alih membangunkan, Shaf justru mengitari meja dan berdiri di depan jendela. Dia menyingkap tirai yang menutup rapat kaca lebar itu. Titik air masih terus berdatangan, menyapa silih berganti, menabrak dinding transparan ini, membentuk kristal-kristal kecil sebelum akhirnya luruh dan menghilang.

Shaf beralih duduk di kursinya sambil bersedekap, memperhatikan Virga yang masih berada di alam damainya. Dia belum mengenal Virga sepenuhnya, dia tidak tahu apa saja yang gadis itu alami, dia hanya tahu secuil fakta bahwa orangtua Virga telah tiada karena suatu hal.

“Bapak,” Virga mengerjab, berusaha menatap lebih jelas sosok Shaf yang terhalang komputer.

“Ayo, bangun. Saya antar pulang.”

Namun, Virga langsung mundur dan menghentikan langkah ketika rintik hujan mengenai sepatunya. Dia mendongak, bersamaan dengan itu sebuah jaket kulit tersampir di bahunya. Virga menoleh dan mendapati Shaf di sana.

“Bapak dapat dari mana?”

“Pakai saja.”

Virga membawa kain tebal itu hingga menutupi kepala kemudian mengikuti Shaf menuju mobil. Shaf memutuskan singgah di salah satu restaurant untuk makan siang, sekaligus bayaran untuk Virga atas bekal sarapan yang tadi pagi diterimanya.

Shaf memperhatikan hujan yang kembali turun cukup deras, sementara Virga betah menatap lurus ke depan. Dia memperhatikan Shaf yang justru menikmati pemandangan di luar.

“Saya benci hujan,” ungkap Virga. “Banyak masalah yang timbul karenanya. Seperti kerikil dalam kehidupan.”

Shaf terkekeh. “Kamu hanya belum pernah mencoba untuk melihat hujan dari jendela yang berbeda, Virga. Hujan yang turun meski merenggut kebebasan beraktivitas, tetapi memberikan banyak manfaat untuk semua makhluk hidup, termasuk kita.”

Virga ikut menatap keluar. Beberapa saat diam, lirih dia berkata. “Orangtua saya meninggal karena kecelakaan. Hujan perenggut nyawa mereka.”

Kini kristal bening itu tak hanya singgah pada dinding tembus pandang di hadapan mereka. Tetapi juga di sepasang pelupuk rapuh itu, sebelum akhirnya luruh dan hilang bagai air hujan.

“Kamu hebat bisa kuat dan bertahan sampai saat ini. Terima kasih karena sudah terus berjuang. Kamu nggak pernah sendiri, Virga. Tuhan selalu bersama kamu. Apapun masalah kamu, tetap berusaha dan berdoa, yakin Tuhan pasti bantu.

“Hujan sudah merebut apa yang saya punya.”

“Mereka milik Tuhan, Virga. Hujan nggak pernah merebutnya.”

Virga terdiam. Kalimat itu menghunusnya. Membekukan rasa benci yang mengalir di jiwanya. Berhenti, tidak lagi bergerak. Oh, ayolah. Dia masih Virga yang sama bukan?

“Tuhan menitipkan pesan pada angin untuk menyampaikan kabar gembira. Tuhan juga yang menurunkan hujan sebagai senjata pamungkas yang mampu mensterilkan segala bentuk pencemaran di bumi,” lanjut Shaf.

Lama terdiam sebelum ragu-ragu Virga berkata, “Saya ingin menemukan jendela lain seperti yang bapak maksud.”

Shaf tersenyum, “Jendela itu tak kasat mata, Virga. Kamu punya jendela itu, dan hanya kamu yang bisa menemukannya. Kuncinya ada pada diri kamu sendiri. Harus ada kemauan dan gerakan untuk mencari.”

Virga terdiam. Netranya menjelajah sekitar. “Saya menemukannya.”

“Oh, ya? Secepat itu? Bagaimana bisa?” kini giliran Shaf yang dibuat takjub.

“Hujan bisa saja merenggut kebebasan beraktivitas, tetapi hujan memberikan banyak manfaat untuk keberlangsungan seluruh makhluk hidup di bumi. Hujan bisa saja menimbulkan berbagai macam bencana, tetapi hujan juga dapat membawa kebahagiaan, ketenangan, dan kenyamanan, serta mampu meninggalkan jejak-jejak yang dapat dinikmati oleh banyak orang, termasuk saya,” jelas Virga. Dia kembali menatap keluar. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Saya jadi merasa bersalah pada hujan.”

“Maka segeralah minta maaf.”

“Padahal untuk jatuh ke bumi hujan melalui siklus hidrologi yang rumit. Bagaimana mungkin saya bisa mengkambinghitamkannya selama ini?”

“Saat turun hujan berikutnya, saya yakin mereka sudah memaafkan kamu.”

Virga tersenyum malu, “Saya jadi teringat kalimat yang populer, habis gelap terbitlah terang,” jeda, “habis hujan muncullah pelangi. Menurut bapak apa mungkin habis sedih akan datang bahagia?”

“Tentu. Seperti siang dan malam, bahagia dan sedih pun datangnya shift-shiftan, bedanya perihal waktu. Kita nggak tahu pasti kapan bahagia atau sedih itu akan datang.”

Itu dia. Kini Virga menemukan kunci dari pintu yang menyembunyikan kekuatannya. Dia bertepuk tangan kecil sebelum menegakkan tubuh dan bangkit berdiri. “Bapak antar saya pulang, kan?”

Shaf tertawa. Dia ikut berdiri dan menyerahkan jaketnya tapi Virga menolak. Di belakangnya Shaf mengikuti langkah Virga sambil tersenyum. Virga menengadahkan tangan, merasakan titik-titik air yang terasa menggelitik di telapaknya. Di belakangnya Shaf berbisik, “Ada satu rahasia yang belum kamu tahu, Virga. Ada rindu yang orangtua kamu titipkan pada setiap bulir air hujan ini.”

***