Adalah Desa Muara Enggelam. Salah satu desa di pedalaman Kutai Kartanegara. Muara Enggelam adalah desa tanpa daratan yang berada di tengah-tengah Danau Melintang. Rumah-rumah warga dibangun di atas rakit yang diikat. Dari satu rumah ke rumah lain dibangun jembatan sebagai sarana untuk bertandang ke rumah tetangga. Ada pula perahu bermesin tunggal yang digunakan warga untuk aktivitas bepergiannya.
Zakiah turun dari perahu yang ditumpanginya. Kedatangannya
ke desa ini disambut baik oleh warga sekitar. Dia diberikan tempat tinggal di
salah satu rumah warga yang berdampingan dengan sekolah. Perempuan 23 tahun itu
baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya di salah satu perguruan tinggi
negeri Kota Padang. Dia kemudian berpartisipasi dalam salah satu program
pengabdian sarjana pendidikan yang dimaksudkan untuk penyiapan pendidik
profesional. Awalnya niat ini ditentang oleh kedua orangtua Zakiah, mengingat
penempatannya di desa terpencil dan nyaris terisolir. Namun, karena niat tulus
dan kegigihan putrinya untuk ikut serta dalam proses percepatan pembangunan
pendidikan di desa-desa tertinggal.
Zakiah meletakkan koper di sudut ruangan. Tidak ada sekat,
ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Hanya ada satu ruangan namun cukup luas jika
hanya ditempati oleh satu orang. Dia membuka jendela dan menemukan hamparan
luas perairan yang bersih dan jernih. “Rancak
bana,” batinnya.
Namun, tentu saja tidak semua hal bisa dia lalui dengan
mudah. Saat malam hari tiba Zakiah baru menyadari bahwa tidak ada kamar mandi
di rumah ini. Di tengah kondisi mengantuk akibat perjalanan dia harus memaksa
tubuhnya untuk bangun dan menuntaskan dorongan buang air kecil. Jarak dari
tempat tinggal menuju kamar mandi cukup jauh untuk seorang Zakiah yang belum
genap sehari di desa ini. Ada 4 bilik kamar mandi dan terpisah untuk bilik
antara laki-laki dengan perempuan. Hanya perlu adaptasi saja dan hal-hal baru
seperti ini akan menjadi normal baginya.
***
Zakiah mulai mengajar dengan 6 rekan lain yang notabenenya
adalah paangan suami istri. Mereka juga pendatang seperti Zakiah, hanya saja
tidak melalui program pengabdian seperti yang Zakiah ikuti.
“Sekolah kita masih kekurangan guru. Beruntung ada Bu Zakiah
yang mau berpartisipasi untuk mengabdi di sekolah ini.”
“Begitu sulit, ya, Pak, mencari guru untuk mengajar di
sini?”
“Iya, Bu, karena kondisinya seperti ini dan akses menuju
desa ini pun sangat sulit. Walaupun banyak sekali lulusan sarjana setiap
tahunnya, tapi banyak dari mereka lebih memilih merantau ke kota daripada ke
pelosok desa,” terang Pak Sardi yang merupakan kepala sekaligus guru di sekolah
ini.
Hal tersebut benar adanya, mengingat jaringan internet
yang tidak stabil, hanya di titik-titik tertentu. Begitu geser sedikit sinyal
bisa hilang. Sementara itu, untuk listrik hanya mengandalkan genset yang
penggunaannya dibatasi sampai dengan jam 9 malam. Namun, satu dan lain
keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat anak-anak untuk belajar.
Antusiasme mereka sangatlah tinggi, terlebih kedatangan Zakiah dianggap seperti
menghadirkan daratan bagi mereka. Dia bisa mengajarkan hal-hal yang mungkin
saja tidak ada di desa ini.
***
“Magic words artinya kata-kata ajaib, Bu.”
“Ya, betul sekali Rahman,” puji Zakiah pada salah satu
siswa laki-laki yang baru saja menjawab pertanyaan. “Jadi ada 3 kata-kata
ajaib, yaitu kata tolong, maaf dan terima kasih. Sudah tau masing-masing
kegunaan dari 3 kata itu?”
“Kata tolong untuk meminta bantuan, kata maaf karena melakukan
kesalahan, kata terima kasih jika menerima bantuan dari orang lain,” jawab
seorang siswa bernama Laila dengan lancar.
“Benar sekali. Beri tepuk tangan dulu untuk Laila.”
“Kelas hari ini ibu cukupkan sampai di sini dulu, ya,
anak-anak. Pertemuan berikutnya kita akan membahas tentang killer word.”
Zakiah mengajar kelas IV sekolah dasar. Dalam satu
kelasnya hanya berjumlah 13 orang. Jumlah tersebut sangat sedikit jika
dibandingkan dengan jumlah siswa pada kelas-kelas normal pada umumnya. Tak ada
kendala berarti yang Zakiah hadapi selain kurangnya fasilitas, sebab antusiasme
yang tinggi adalah kunci dari semua keberhasilan.
“Hati-hati, Zakir.”
Zakiah membantu seorang siswa yang hendak naik di atas bak
air yang cukup besar hampir menyerupai gentong. Bak itu diberi tali dan diikat
pada perahu kecil yang dikendarai Rahman. Perahu itu tidak dilengkapi oleh
mesin tunggal yang biasa digunakan para orangtua untuk mencari ikan, melainkan
hanya sebuah dayung kayu yang digunakan Rahman untuk menggerakan perahu untuk
sampai ditujuan.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan nyaman, meski
kendala-kendala kecil kerap datang tapi masih bisa Zakiah atasi. Seperti dingin
yang menyerang di malam, rasanya seperti benar-benar menusuk tulang. Atau saat
hujan turun membuat rumah rakit yang Zakiah tempati bergoyang. Tentu saja
awalnya sangat mengerikan bagi Zakiah, namun lagi-lagi hanya masalah adaptasi
dan hal-hal kecil seperti itu kini bukanlah kendala berarti lagi baginya.
Usai mengajar Zakiah kerap bertandang ke rumah warga,
melewati jembatan yang terhubung dari satu rumah ke rumah lain. Terkadang dia
menumpang di perahu milik salah satu warga yang kebetulan melintas sepulang
mencari ikan. Danau ini kaya ikan air tawar. Budidaya ikan air tawar sangat
mudah dan jadi mata pencaharian utama warga.
“Kenapa ikannya dibersihkan semua, Bu?” tanya Zakiah
ketika melihat beberapa warga membersihkan semua ikan yang mereka dapat.
“Danau menuju ke kota surut, Bu. Perahu kandas, jadi hasil
tangkapan ikan hari ini dibawa pulang lagi karena tidak bisa dijual ke kota.”
“Lalu semua ikannya akan diapakan, Bu?”
“Dimasak saja, Bu. Sebagian hasil masakannya biasa kami
bagikan kepada warga sekitar hingga dusun sebelah, sebagiannya lagi kami
jadikan ikan asin.”
“Kenapa tidak diolah menjadi makanan lain yang tahan lama
saja, Bu?”
“Memang bisa, ya, Bu?”
Dari situ akhirnya Zakiah terpikir untuk mengajak para
ibu-ibu di desa untuk mengolah makanan berbahan dasar ikan dan berdaya jual
tinggi sehingga mereka tidak perlu mengalami kerugian yang berarti. Zakiah
mengajarkan bagaimana cara membuat abon ikan yang tahan lama dari resep dan
cara pembuatan hingga pengemasan yang menarik. Ketika air danau kembali normal
mereka bisa menjual hasil olahan tersebut ke kota.
Zakiah tidak terpikir jika Danau Melintang yang mereka
tinggali ini bisa saja surut dan membuat mereka kehilangan akses keluar masuk
desa. Kini air danau semakin mengering. Mereka tidak bisa ke mana-mana. Tak ada
perairan yang bisa dilewati. Rakit hampir kandas. Jika benar-benar kandas,
mungkin Zakiah akan merasakan seperti menginap di dalam jurang.
Bersyukur hujan deras mengguyur dua hari kemudian. Hanya
ada dua musim, sama seperti wilayah lain di Indonesia. Jika musim kemarau maka
danau akan mengering. Itu adalah petaka bagi warga desa. Jika musim hujan air
pasang tinggi. Sebenarnya tidak ada masalah dengan air pasang, karena rumah
rakit yang mereka tempati akan mengapung setinggi apapun air danau. Hanya saja,
hujan deras yang mengguyur bisa jadi petaka juga. Kali ini angin dan ombak
menjadi tantangan baru untuk Zakiah. Tali yang mengikat rumah rakitnya putus,
membuatnya terombang-ambing di atas danau.
Zakiah duduk sambil memeluk lutut di sudut ruangan. Andin
bertiup kencang dari pusat danau. Dia hanya bisa pasrah dan berdoa agar
bangunan yang menjadi pelindung satu-satunya ini tidak oleng atau rubuh.
***
Kegiatan belajar mengajar di sekolah kali ini ditiadakan.
Zakiah bersama rekan dan seluruh warga kembali menata desa yang terhambur
akibat terjangan angin dan ombak semalam. Sekolah yang digunakan untuk belajar
terseret ombak hingga hampir masuk ke dusun sebelah. Beberapa warga menarik
bangunan sekolah menggunakan perahu dan menempatkannya kembali di tempat
semula. Insiden ini sepertinya bukanlah hal yang langka bagi warga.
Hari-hari berikutnya berlangsung normal. Hujan sesekali
turun namun tidak disertai oleh terjangan angin dan ombang memporak-porandakan
desa. Kegiatan belajar mengajar kembali berlangsung seperti biasa. Sebagian
anak-anak di antar oleh orang tuanya ke sekolah karena perahu kecil yang biasa
mereka gunakan masih terdampar di tengah laut.
“Sayuran adalah makanan sehat yang sangat bermanfaat bagi
tubuh. Ada yang bisa menyebutkan apa saja manfaat sayuran?”
“Kami selalu makan ikan, Bu, karena di sini tidak ada
sayur.”
***
Anak-anak menurunkan tanah, pupuk, dan bibit tanaman yang
Zakiah bawa dengan kapal. Dia mendapatkan semua bahan-bahan itu setelah
menumpang kapal milik warga yang menuju kota. Beberapa rakit ukuran sedang
sudah jadi. Kemampuan tali menali anak-anak tak perlu diragukan lagi, hanya
perlu 2 jam untuk mengikat potongan-potongan bambu menyerupai rakit, Mereka
kemudian membentangkan kain kasa di tengah-tengah kerangka rakit, menaburkan
tanah subur atau humus dan bibit tanaman di atasnya. Tidak lupa mengikat rakit
itu di masing-masing sisinya agar tidak terombang-ambing terkena ombak. Kini
sawah mungil terapung di permukaan danau.
***
Zakiah meletakkan sang anak yang telah tertidur di atas
ranjang. Dia segera bergegas keluar ketika mendengar suara nyanyian seseorang
di luar.
“Kakak, suara agak dikecilkan, ya, adik baru tidur.”
Zakiah kemudian mengecek ponselnya. Ada beberapa
notifikasi pesan. Dia membuka salah satu dan tersenyum lebar. Laila mengirimkan
sebuah foto di mana desanya sedang mengadakan lomba memasak. Pesertanya adalah
ibu-ibu warga desa sekitar dan bahan masakannya menggunakan hasil dari bercocok
tanam yang mereka kembangkan sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk memperingati
hari Ibu yang berlangsung setiap tanggal 22 Desember tanpa mengubah makna
sebenarnya dari peringatan hari Ibu.
Para generasi muda itu telah membawa Desa Muara Enggelam semakin maju. Mereka sukses mengelola usaha listrik komunal yang mampu memenuhi kebutuhan listrik sekaligus menjadi sumber penghasilan desa.