Dec 24, 2020

Generasi Terapung

 

Adalah Desa Muara Enggelam. Salah satu desa di pedalaman Kutai Kartanegara. Muara Enggelam adalah desa tanpa daratan yang berada di tengah-tengah Danau Melintang. Rumah-rumah warga dibangun di atas rakit yang diikat. Dari satu rumah ke rumah lain dibangun jembatan sebagai sarana untuk bertandang ke rumah tetangga. Ada pula perahu bermesin tunggal yang digunakan warga untuk aktivitas bepergiannya.

Zakiah turun dari perahu yang ditumpanginya. Kedatangannya ke desa ini disambut baik oleh warga sekitar. Dia diberikan tempat tinggal di salah satu rumah warga yang berdampingan dengan sekolah. Perempuan 23 tahun itu baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya di salah satu perguruan tinggi negeri Kota Padang. Dia kemudian berpartisipasi dalam salah satu program pengabdian sarjana pendidikan yang dimaksudkan untuk penyiapan pendidik profesional. Awalnya niat ini ditentang oleh kedua orangtua Zakiah, mengingat penempatannya di desa terpencil dan nyaris terisolir. Namun, karena niat tulus dan kegigihan putrinya untuk ikut serta dalam proses percepatan pembangunan pendidikan di desa-desa tertinggal.

Zakiah meletakkan koper di sudut ruangan. Tidak ada sekat, ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Hanya ada satu ruangan namun cukup luas jika hanya ditempati oleh satu orang. Dia membuka jendela dan menemukan hamparan luas perairan yang bersih dan jernih. “Rancak bana,” batinnya.

Namun, tentu saja tidak semua hal bisa dia lalui dengan mudah. Saat malam hari tiba Zakiah baru menyadari bahwa tidak ada kamar mandi di rumah ini. Di tengah kondisi mengantuk akibat perjalanan dia harus memaksa tubuhnya untuk bangun dan menuntaskan dorongan buang air kecil. Jarak dari tempat tinggal menuju kamar mandi cukup jauh untuk seorang Zakiah yang belum genap sehari di desa ini. Ada 4 bilik kamar mandi dan terpisah untuk bilik antara laki-laki dengan perempuan. Hanya perlu adaptasi saja dan hal-hal baru seperti ini akan menjadi normal baginya.

***

Zakiah mulai mengajar dengan 6 rekan lain yang notabenenya adalah paangan suami istri. Mereka juga pendatang seperti Zakiah, hanya saja tidak melalui program pengabdian seperti yang Zakiah ikuti.

“Sekolah kita masih kekurangan guru. Beruntung ada Bu Zakiah yang mau berpartisipasi untuk mengabdi di sekolah ini.”

“Begitu sulit, ya, Pak, mencari guru untuk mengajar di sini?”

“Iya, Bu, karena kondisinya seperti ini dan akses menuju desa ini pun sangat sulit. Walaupun banyak sekali lulusan sarjana setiap tahunnya, tapi banyak dari mereka lebih memilih merantau ke kota daripada ke pelosok desa,” terang Pak Sardi yang merupakan kepala sekaligus guru di sekolah ini.

Hal tersebut benar adanya, mengingat jaringan internet yang tidak stabil, hanya di titik-titik tertentu. Begitu geser sedikit sinyal bisa hilang. Sementara itu, untuk listrik hanya mengandalkan genset yang penggunaannya dibatasi sampai dengan jam 9 malam. Namun, satu dan lain keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat anak-anak untuk belajar. Antusiasme mereka sangatlah tinggi, terlebih kedatangan Zakiah dianggap seperti menghadirkan daratan bagi mereka. Dia bisa mengajarkan hal-hal yang mungkin saja tidak ada di desa ini.

***

 “Ada yang tau artinya?” tunjuk Zakiah ke arah papan tulis.

“Magic words artinya kata-kata ajaib, Bu.”

“Ya, betul sekali Rahman,” puji Zakiah pada salah satu siswa laki-laki yang baru saja menjawab pertanyaan. “Jadi ada 3 kata-kata ajaib, yaitu kata tolong, maaf dan terima kasih. Sudah tau masing-masing kegunaan dari 3 kata itu?”

“Kata tolong untuk meminta bantuan, kata maaf karena melakukan kesalahan, kata terima kasih jika menerima bantuan dari orang lain,” jawab seorang siswa bernama Laila dengan lancar.

“Benar sekali. Beri tepuk tangan dulu untuk Laila.”

“Kelas hari ini ibu cukupkan sampai di sini dulu, ya, anak-anak. Pertemuan berikutnya kita akan membahas tentang killer word.”

Zakiah mengajar kelas IV sekolah dasar. Dalam satu kelasnya hanya berjumlah 13 orang. Jumlah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah siswa pada kelas-kelas normal pada umumnya. Tak ada kendala berarti yang Zakiah hadapi selain kurangnya fasilitas, sebab antusiasme yang tinggi adalah kunci dari semua keberhasilan.

“Hati-hati, Zakir.”

Zakiah membantu seorang siswa yang hendak naik di atas bak air yang cukup besar hampir menyerupai gentong. Bak itu diberi tali dan diikat pada perahu kecil yang dikendarai Rahman. Perahu itu tidak dilengkapi oleh mesin tunggal yang biasa digunakan para orangtua untuk mencari ikan, melainkan hanya sebuah dayung kayu yang digunakan Rahman untuk menggerakan perahu untuk sampai ditujuan.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan nyaman, meski kendala-kendala kecil kerap datang tapi masih bisa Zakiah atasi. Seperti dingin yang menyerang di malam, rasanya seperti benar-benar menusuk tulang. Atau saat hujan turun membuat rumah rakit yang Zakiah tempati bergoyang. Tentu saja awalnya sangat mengerikan bagi Zakiah, namun lagi-lagi hanya masalah adaptasi dan hal-hal kecil seperti itu kini bukanlah kendala berarti lagi baginya.

Usai mengajar Zakiah kerap bertandang ke rumah warga, melewati jembatan yang terhubung dari satu rumah ke rumah lain. Terkadang dia menumpang di perahu milik salah satu warga yang kebetulan melintas sepulang mencari ikan. Danau ini kaya ikan air tawar. Budidaya ikan air tawar sangat mudah dan jadi mata pencaharian utama warga.

“Kenapa ikannya dibersihkan semua, Bu?” tanya Zakiah ketika melihat beberapa warga membersihkan semua ikan yang mereka dapat.

“Danau menuju ke kota surut, Bu. Perahu kandas, jadi hasil tangkapan ikan hari ini dibawa pulang lagi karena tidak bisa dijual ke kota.”

“Lalu semua ikannya akan diapakan, Bu?”

“Dimasak saja, Bu. Sebagian hasil masakannya biasa kami bagikan kepada warga sekitar hingga dusun sebelah, sebagiannya lagi kami jadikan ikan asin.”

“Kenapa tidak diolah menjadi makanan lain yang tahan lama saja, Bu?”

“Memang bisa, ya, Bu?”

Dari situ akhirnya Zakiah terpikir untuk mengajak para ibu-ibu di desa untuk mengolah makanan berbahan dasar ikan dan berdaya jual tinggi sehingga mereka tidak perlu mengalami kerugian yang berarti. Zakiah mengajarkan bagaimana cara membuat abon ikan yang tahan lama dari resep dan cara pembuatan hingga pengemasan yang menarik. Ketika air danau kembali normal mereka bisa menjual hasil olahan tersebut ke kota.

Zakiah tidak terpikir jika Danau Melintang yang mereka tinggali ini bisa saja surut dan membuat mereka kehilangan akses keluar masuk desa. Kini air danau semakin mengering. Mereka tidak bisa ke mana-mana. Tak ada perairan yang bisa dilewati. Rakit hampir kandas. Jika benar-benar kandas, mungkin Zakiah akan merasakan seperti menginap di dalam jurang.

Bersyukur hujan deras mengguyur dua hari kemudian. Hanya ada dua musim, sama seperti wilayah lain di Indonesia. Jika musim kemarau maka danau akan mengering. Itu adalah petaka bagi warga desa. Jika musim hujan air pasang tinggi. Sebenarnya tidak ada masalah dengan air pasang, karena rumah rakit yang mereka tempati akan mengapung setinggi apapun air danau. Hanya saja, hujan deras yang mengguyur bisa jadi petaka juga. Kali ini angin dan ombak menjadi tantangan baru untuk Zakiah. Tali yang mengikat rumah rakitnya putus, membuatnya terombang-ambing di atas danau.

Zakiah duduk sambil memeluk lutut di sudut ruangan. Andin bertiup kencang dari pusat danau. Dia hanya bisa pasrah dan berdoa agar bangunan yang menjadi pelindung satu-satunya ini tidak oleng atau rubuh.

***

Kegiatan belajar mengajar di sekolah kali ini ditiadakan. Zakiah bersama rekan dan seluruh warga kembali menata desa yang terhambur akibat terjangan angin dan ombak semalam. Sekolah yang digunakan untuk belajar terseret ombak hingga hampir masuk ke dusun sebelah. Beberapa warga menarik bangunan sekolah menggunakan perahu dan menempatkannya kembali di tempat semula. Insiden ini sepertinya bukanlah hal yang langka bagi warga.

Hari-hari berikutnya berlangsung normal. Hujan sesekali turun namun tidak disertai oleh terjangan angin dan ombang memporak-porandakan desa. Kegiatan belajar mengajar kembali berlangsung seperti biasa. Sebagian anak-anak di antar oleh orang tuanya ke sekolah karena perahu kecil yang biasa mereka gunakan masih terdampar di tengah laut.

“Sayuran adalah makanan sehat yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Ada yang bisa menyebutkan apa saja manfaat sayuran?”

“Kami selalu makan ikan, Bu, karena di sini tidak ada sayur.”

***

Anak-anak menurunkan tanah, pupuk, dan bibit tanaman yang Zakiah bawa dengan kapal. Dia mendapatkan semua bahan-bahan itu setelah menumpang kapal milik warga yang menuju kota. Beberapa rakit ukuran sedang sudah jadi. Kemampuan tali menali anak-anak tak perlu diragukan lagi, hanya perlu 2 jam untuk mengikat potongan-potongan bambu menyerupai rakit, Mereka kemudian membentangkan kain kasa di tengah-tengah kerangka rakit, menaburkan tanah subur atau humus dan bibit tanaman di atasnya. Tidak lupa mengikat rakit itu di masing-masing sisinya agar tidak terombang-ambing terkena ombak. Kini sawah mungil terapung di permukaan danau.

***

Zakiah meletakkan sang anak yang telah tertidur di atas ranjang. Dia segera bergegas keluar ketika mendengar suara nyanyian seseorang di luar.

“Kakak, suara agak dikecilkan, ya, adik baru tidur.”

Zakiah kemudian mengecek ponselnya. Ada beberapa notifikasi pesan. Dia membuka salah satu dan tersenyum lebar. Laila mengirimkan sebuah foto di mana desanya sedang mengadakan lomba memasak. Pesertanya adalah ibu-ibu warga desa sekitar dan bahan masakannya menggunakan hasil dari bercocok tanam yang mereka kembangkan sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk memperingati hari Ibu yang berlangsung setiap tanggal 22 Desember tanpa mengubah makna sebenarnya dari peringatan hari Ibu.

Para generasi muda itu telah membawa Desa Muara Enggelam semakin maju. Mereka sukses mengelola usaha listrik komunal yang mampu memenuhi kebutuhan listrik sekaligus menjadi sumber penghasilan desa.